A.
Asal Mula Terbentuknya TPA REGIONAL SARBAGITA
TPA Regional Sarbagita,
merupakan TPA yang dirancang untuk melayani 4 wilayah (Kota Denpasar, Kabupaten
Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan). Pertumbuhan penduduk dan
aktivitas ekonomi mengakibatkan peningkatan volume sampah. Peningkatan volume
sampah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan seperti pencemaran air,
udara, dan tanah. Berdampak terhadap menurunnya derajat kesehatan, sehingga
diperlukan sarana dan prasarana pengelolahaan sampah yang memadai. Tahun 2012
UPT pengelolahaan sampah dinas pekerjaan umum dibentuk berdasarkan perda No. 4
thaun 2011 tentang organisasi dan tata kerja perangkat daerah Provinsi Bali
yang bertugas untuk mengelola TPA Regional, dan Peraturan Gubernur Bali No, 100
tahun 2011 tentang Organisasi dan Rincian Tugas Pokok UPT di lingkungan Dinas
PU Provinsi Bali. Sesuai UU No. 18 tahun 2009 tentang pengelolahaan sampah,
diperlukan revitalisasi sarana dan prasarana yang ada agar tidak menimbulkan
pencemaran terhadap lingkungan dengan sistem pengelolahaan sampah Sanitary
Landfill. Total luas lahan TPA Regional Sarbagita ± 32,46 Ha, dimana 10 Ha
dikelola oleh PT. NOEI ( Navigat Organic Energy Indonesia) bekerja sama dengan
BPKS (Badan Pengelolahan Sampah Terpadu) dengan kerjasama antara pemda
sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan) sedangkan lahan seluas 22,46
Ha saat ini dikelola oleh Pemerintah Provinsi Bali dengan perjanjian kerjasama
kolaborasi antara Dinas Kehutanan Provinsi Bali dengan Dinas Pekerjaan Umum
Provinsi Bali tentang integrasi dan Kolaborasi Pengelolahan TPA Regional
Sarbagita dengan ekowisata di Tahura Ngurah Rai.
Tempat Pembungan Akhir
(TPA) Suwung menjadi tempat pelabuhan terakhir sampah-sampah yang diproduksi
masyarakat kota Denpasar. Tidak hanya bagi masyarakat Kota Denpasar, TPA Suwung
Denpasar juga tadi penampungan sampah dari kabupaten lain yang tergabung dalam
pemerintahaan sarbagita yakni Denpasar, Badung, Gianyar, dan Kabupaten Tabanan.
Dengan luas lahan TPA 32,48 hektar Dinas Kebersihan (DKP) Kota Denpasar dalam
pengelolahannya menerapkan sistem kontrol landfel, dn sanitary landfel. Menurut
kadis DKP Ketut Wisada didampingi kepala bidang TPA DKP Kota Denpasar, A.A Raka
Wedana yang ditemui oleh kami Beliau
mengatakan bahwa penerapan sistem ini dilakukan untuk menurunkan tingginya
tumpukan sampah yang berada di beberapa sisi TPA Suwung. Sistem ini dilakukan
dengan menumpuk tumpukan sampah dengan tanah secara bertahap, hal ini mampu
menurunkan tingginya tumpukan sampah yang saat ini tidak boleh lebih dari 10-15
meter. Beberapa sanitary landfel ini nantinya akan ditanami pohon salah satunya
trambesi. Sehingga situasi hijau di kawasan TPA Suwung dapat lebih rindang.
Hal ini bermula dari
pemikiran bagaimana penanggulangan sampah yang volumenya selalu meningkat dan
selalu menjadi masalah besar terutama di kota-kota besar di Indonesia. Hingga
tahun 2020 mendatang, volume sampah perkotaan di Indonesia diperkirakan akan
meningkat lima kali lipat (Ivan, 2003). Begitu pula dengan kota Denpasar
diprediksi jumlah sampah perhari yang diterima TPA Suwung sekitar 1.842 m³,
bahkan bisa mencapai 3.368 m³ atau setara dengan 1.852 ton sampah basah atau
650 ton sampah padat kering siap pakai bila ditambah pasokan sampah dari
Kabupaten Badung, Gianyar dan Tabanan (Nawawi, 2003). Dari jumlah sampah yang besar itu, sangat
memungkinkan kesinambungan ketersediaan sampah setiap harinya. Sedangkan proses
pengolahan sampah yang sedang berjalan saat ini dilokasi TPA Suwung adalah
dengan sistem ”Open Dumping” saja, dimana sampah hanya diletakkan begitu saja
dilapangan terbuka tanpa adanya proses lebih lanjut, sehingga semakin hari
sampah semakin menumpuk dan memerlukan lahan yang lebih luas serta
pencemarannya menimbulkan berbagai masalah lingkungan, bukan hanya sekedar
pemandangan yang tak sedap atau bau busuk yang ditimbulkan namun ancaman
terhadap kesehatan pun akan meluas.
B.
Gambaran TPA REGIONAL SARBAGITA
Pengelolaan sampah adalah semua kegiatan yang
dilakukan untuk menangani masalah sampah sejak ditimbulkan sampaidengan
pembuangan akhir. Secara garis besar, kegiatan pengelolaan samapah meliputi
pengendalian timbulan sampah, pengumpulan sampah, transfer dan transportasi,
pengolahan dan pembuangan akhir.
Masalah sampah sampai saat ini masih menjadi masalah
yang krusial karna dampaknya bias terkena pada sisi kehidupan. volume sampah
yang dihasilkan per orang rata-rata 0,5 kg/kapasitas dan dengan perkiraan
10.000 ton/hari untuk sumber sampah yang terbanyak dari permukiman, rumah
tangga, pasar dan sampah kota, dengan jumlah ysng masih tergolong sangat besar
tersebut, maka adanya penanganan sampah yang khusus yaitu dengan cara
pengomposan. Kota Denpasar menggunakan TPA Suwung sebagai lokasi pembuangan
akhir sampah, alternative pembuangan akhir yang dilakukan sekarang ini
menggunakan sanitary landfill.
Teknologi sanitary landfill yang
dikenakal secara umum yaitu sampah dimasukan kedalam lubang, lalu bagian atas
sampah ditimbun tanah. Selanjutnya bagian atas timbunan tersebut ditimbun lagi
menggunakan sampah dan di tutup lagi dengan menggunakan tanah dan begitu
seterusnya. Dengan demikian areal tanah akan lebih efisien karena dapat
menghasilkan biogas dari landfill yang berada di bawah permukaan tanah. Akan
tetapi menggunakan metode sanitary
landfill ini juga menimbulkan permasalahan lingkungan seperti pencemaran
tanah, bau, berkembangnya vector penyakit dan berkurangnya estetika lingkungan.
Salah satu cara untuk membantu mengurangi permasalahan yang ada dengan
melakukan daur ulang sampah dengan penekanan pada proses pengomposan. Proses
pengomposan menjadi penting karena 50%-80% sampah kota merupakan sampah organik
yang dapat di jadikan kompos. Kompos merupakan hasil penguraian persial/tidak
lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara signifikan
oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat,
lembab, baik aerobik maupun anaerobik. Komposting juga merpakan proses dimana
bahan organic mengalami penguraian secara biologis, oleh mikroba-mikroba yang
memanfaatkan bahan organik tersebut sebagai sumber energi. Pada dasarnya semua
bahan organik padat dapat di jadikan kompos, misalnya limbah organic rumah
tangga, sampah-sampah organik pertanian, sampah-sampah organik kota,
sampah-sampah organik pasar, pabrik kertas, pabrik gula dll. Jika proses
komposting ini berjalan lancar adapun manfaat yang bisa diperoleh yaitu:
1. Aspek
Ekonomi
·
Kompos merupakan salah satu upaya
reduksi sampah, sehingga akan mereduksi biaya oprasional pemusnahan sampah.
·
Dengan reduksi sampah, maka dapat
memperpanjang usia TPA, sehingga akan mengurangi overload untuk TPA.
·
Kompos sangat dibutuhkan khususnya dalam
bidang pertanian, seingga merupakan produk yang dapat dijual.
2. Aspek
Lingkungan
·
Proses pengomposan merupakan proses daur
ulang alamiah, sehingga mengembalikan bahan- bahan organic kedalam siklus
biologis.
·
Dengan reduksi sampah, maka tumpukan
sampah berkurang, pembakaran sampah serta pembuangan sampah ke suangai juga
akan berkurang sehingga lingkungan menjadi lebih bersih, sehata, dan dapat
mengurangi pencearan di lingkungan sekitar TPA.
3. Aspek
Sosial
·
Membuka lahan pekerjaan
·
Menjadi obyek pembelajaran masyarakat
dan di dunia pendidikan.
Selain
pengomposan menjadi pupuk organik bagi pertanian, sampah ternyata juga bisa
diolah untuk menghasilkan tenaga listrik. Sampah organic pada dasarnya adalah
biomassa (senyawa organic) yang dikonversi menjadi energi melalui sejumlah
proses pengolahan, baik dengan maupun tanpa oksigen yang bertemperatur tinggi.
Energy yang dihassilkan berbentuk energy listrik, gas, energi panas dan energi
dingin yang banyak dibutuhkan oleh industri, perkantoran, hotel. Rencana dari
TPA Suwung ini juga memiliki oengomposan yang sama agar dapat mneghasilkan
energi listrik, namun sampai saat ini TPA Suwung belum juga dapat
merealisasikannya dikarenakan volume sampah yang ada di TPA ini sangat banyak.
Air
Lindi merupakan limbah cair yang timbul akibat masuknya air ekternal kedalam
timbunan samapah, melarutkan dan membilas sampah-sampah teralarut, termaksud
juga sampah organic hasil proses dekomposisi biologis. Dapat dikatakan kualitas
lindi yang dihasilkan akan banyak tergantung pada masuknya air dari luar,
sebagian besar dari air hujan, disamping dipengaruhi oleh aspek operasional
yang diterapkan seperti aplikasi tanah penutup, kemiringan permukaan, kondisi
iklim, dan sebagainya. Namun TPA Suwung ini tidak melakukan pemerosesan untuk
air lindi ini. TPA Suwung hanya merencanakan hasil composting ini untuk
menghasilakan energi listrik.
Pemeliharaan
TPA secara umum dimaksud utuk menjaga agar setiap prasarana dan sarana yang ada
selalu dalam kondisi siap oprasi dengan unjuk kerja yang baik. Sesuai
tahapannya perlu diutamakan kegiatan pemeliharaan yang bersifat preventif untuk
mencegah terjadinya kerusakan dengan melaksanakan pemeliharaan yang ruti. Serta
melakukan pemeliharaan kolektif dimaksudkan untuk segara melakukan perbaikan
pada kerusakan-keruakan kecil agar tidak dapat berkembang menjadi besar dan
kompleks.
Masalah
yang berkaitan dengan pengelolaan TPA saat ini yaitu menurunkan kualitas TPA
yang sebagian besar dari sanitary
landfill menjadi open dumping.
Untuk mendukung pencapaian sasaean pembangunan TPA maka pemerintah menyusun
kebijakan dan strategi guna memelihara TPA. Adapun pemeliharaan untuk TPA
Suwung ini yaitu :
1. Pihak
pengelolaan dapat menjamin samapah diturunkan, ditutup dan di padatkan secara efisien.
2. Air
sampah (lindi) dan gas harus dikontrol dan dikeringkan untuk menjaga kondisi
operasi yang terbaik dan melindungi kesehatan masyarakat serta kesehatan
lingkungan.
3. Pengelolaan
TPA sampah harus bertanggung jawab terhadap operasional dan pemeliharaan sanitary landfill.
4. Pemeriksaan
kedatangan sampah
5. Pengecekan
rute pembungan
Sampah
itu pada dasarnya tidak diproduksi, tetapi ditimbulakn. Timbulan sampah yang
dihasilkan untuk suatu koda sangat tergantung dari jumlah penduduk dan
aktivitas masyarakat yang ada di daerah tersebut. Untuk kota-kota di Indonesia,
timbulan dan komposisi sampah perkotaan rata-rata 2,5-3,5 liter/orang/hari.
Menurut SNI 19-3964-1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh
Timbulan dan KOmposisi Sampah Perkotaan , bila data pengamatan lapangan belum
tersedia, maka untuk menghitung besaran timbulan sampah dapat digunakan nilai
timbulan sampah sebagai berikut:
a. Satuan
timbulan sampah kota besar = 2-2,5 liter/orang/hari atau 0,4-0,5 kg/orang/hari.
b. Satuan
timbulan sampah kota sedang atau kecil = 1,5-2 liter/orang/hari, atau 0,3-0,4
kg/orang/hari.
Komposisi
sampah yaitu komponen fisik sampah seperti
sisa-sisa makanan, kertas, karbon, kayu,
kain tekstil, karet
kulit, plastik, besi,
kaca, dll. Komposisi sampah biasanya dinyatakan sebagai
% berat atau % volume terhadap kelompok atau sejenisnya. Sampah rumah tangga pada umumnya mengandung bahan mudah membusuk yang tinggi (bisa mencapai 75-80%)
dan kadar air yang tinggi (65-70%). Adapun yang dimaksud dengan penanganan sampah di
tempat atau pasa sumbernya adalah semua perlakuan terhadap sampah yang
dilakukan sebelum sampah ditempatkan dilokasi tempat pembuangan akhir. Suatu
material yang sudah dibuang atau tidak dibutuhkan lag, sering kali masih
memiliki nilai ekonomis. Penanganan sampah ditempat, dapat memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap penanganan sampah pada tahapan penanganan sampah pada
tahap-tahap selanjutnya dan mengurangi volume sampah yang akan dibuang ke TPA.
Peran serta masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan
sampah. Dalam program jangka panjang setiap rumah tanggadisarankan mengelola
sendiri sampahnya melalui prinsip 3R. Adapun prinsip 3R yang bias diterapkan
dakam keseharian yaitu sebagai berikut:
a. Reduce
(mengurangi)
Meminimalisasi barang atau material yang digunakan,
seperti:
1. Membawa tas belanja sendiri untuk
mengurangi sampah kantong plastik pembungkus barang belanja.
2. Membeli
kemasan isi ulang daripada membeli kemasan baru setiap habis sekali pakai
3. Membeli
susu, makanan kering, detergen dan lain-lain dalam paket yang besar daripada
membeli beberapa paket kecil untuk volume yang
sama. Semakin banyak kita menggunakan
material, semakin banyak
sampah yang dihasilkan.
b. Reuse (memakai kembali)
Sebisa
mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian
barang-barang yang disposable (sekali
pakai, buang). Hal ini dapt memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum
menjadi sampah. Misalnya adalah :
1. Memnfaatkan
botol-botol bekas untuk wadah
2. Memanfaatkan
kantong plastik bekas kemasan belanja untuk
pembungkus
3. Memanfaatkan
pakaian atau kain-kain bekas untuk kerajinan tangan, perangkat pembersih (lap),
maupun bebrbagai keperluan lain.
c. Recycle (daur ulang)
Daur
ulang adalah salah satu strategi pengelolaan sampah padat yang terdiri atas
kegiatan pemilahan, pengumpulan pemrosesan, pendistribusian dan pembuatan
produk / material bekas pakai.Tidak semua barang bisa didaur ulang. Material
yang dapat didaur ulang antara lain adalah :
1. Botol bekas wadah kecap, saos, sirup,
krim kopi baik yang putih bening maupun yang berwarna terutama gelas atau kaca
yang tebal.
2. Kertas,
terutama kertas bekas di kantor, koran, majalah, kardus kecuali kertas yang
berlapis (minyak atau palstik).
3. Plastik bekas wadah sampo, air
mineral, jerigen, ember dan lain-lain.
4. Sampah
basah organik dapat diolah menjadi kompos.
Penanganan Sampah dengan Metode Sanitary Landfiil
Dalam penggunaan metode sanitary landfill, alternatif atau cara
pengisian lahan TPA sesuai dengan kondisi lahan yang tersedia yang terdiri dari
Metode Area, Metode Trench, dan Metode Slope (Tchobanoglous, 1977).
a.
Metode Area (Area Method). Metode
ini umumnya digunakan untuk lahan yang tidak rata dan luas.
b.
Metode Slope (Ram Method). Di
sini sampah disebarkan dan dipadatkan sedemikan sehingga membentuk kemiringan
(slope) tertentu. Tanah penutup dapat diperoleh dari hasil penggalian bagian
dasar dari slope tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.7
Pengoperasian Metode Slope (Ram Method)
c.
Metode Trench
(Trench Method).
Metode Trench diterapkan untuk tanah yang datar dan luas relatif
kecil serta tersedia tanah penutup yang cukup. Sampah dibuang ke dalam lubang
dan kemudian ditutup dengan tanah penutup pada akhir hari operasi. Tanah
penutup diperoleh dari hasil penggalian lubang yang diletakkan di tepi galian
lubang dan digunakan setelah parit terisi sampah. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 2.8 Pengoperasian Metode Trench (Trench Method)
C.
Masalah – Masalah Yang Dihadapi TPA
-
Masyarakat Belum Melakukan Pengelolaan Sampah Berbasis “Zero Waste” Skala Rumah Tangga
Secara Mandiri
Sampah adalah material sisa dari aktivitas manusia
yang tidak memiliki keterpakaian, karenanya harus dikelola. Tanpa pengelolaan
secara baik dan benar, sampah dapat menimbulkan kerugian karena akan
menyebabkan banjir, meningkatnya pemanasan iklim, menimbulkan bau busuk,
mengganggu keindahan, memperburuk sanitasi lingkungan dan ancaman meningkatnya
berbagai macam penyakit. Pertumbuhan penduduk di Bali menyebabkan kenaikan
volume sampah yang dihasilkan juga. Peningkatan jumlah sampah terjadi
seiring deret ukur sedangkan ketersedian lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
sampah mengikuti deret hitung.
Hal ini mengakibatkan lahan TPA
memiliki umur yang pendek karena tidak mampu lagi menampung sampah yang ada.
Rendahnya teknologi yang dimiliki dan lemahnya infrastruktur menimbulkan
permasalahan sampah yang cukup rumit terutama di negara berkembang seperti
Indonesia. Pemerintah selaku stakeholder mempunyai kewajiban untuk menerapkan
sistem pengelolaan sampah yang efektif dalam mengatasi permasalahan sampah.
Selain itu, peran serta masyarakat juga diharapkan dapat membantu mengatasi
masalah tersebut karena kurangnya kesadaran masyarakat terhadap masalah akibat
keberadaan sampah mempunyai andil besar dalam memperburuk tata kelola sampah. Konsep
yang sering dilakukan adalah konsep 3R (Reduce,
Reuse dan Recycle), konsep ini sangat
cocok untuk dilakukan di negara berkembang karena konsep ini dilakukan tanpa
menggunakan teknologi dan menggunakan peran masyarakat sebagai pelaku yang
menghasilkan sampah. Namun konsep 3R ini hanya menjadi slogan saja yang tidak
pernah dilaksanakan konsepnya.
Solusi
untuk mengatasi masalah ini adalah pengelolaan sampah secara mandiri pada skala
rumah tangga. Pengelolaan sampah skala rumah tangga dapat dilakukan dengan
konsep zero waste. Prinsip nol sampah atau zero waste merupakan konsep
pengelolaan sampah yang didasarkan pada kegiatan daur ulang (Recycle).
Pengelolaan sampah dilakukan dengan melakukan pemilahan, pengomposan dan
pengumpulan barang layak jual (Ika, 2000). Menurut Maharani, dkk (2007),
penggunaan kembali, minimalisasi, dan daur ulang sampah adalah hal yang sangat
perlu dilakukan untuk mengurangi
timbulan sampah yang membebani TPA dan lingkungan. Jika memungkinkan, 3R
dilakukan sejak dari sumber timbulan sampah sehingga terjadi minimalisasi
sampah yang diangkut menuju TPA. Zero
waste pada dasarnya bukanlah pengelolaan hingga tidak ada lagi sampah yang
dihasilkan karena tidak ada aktivitas manusia yang tidak menghasilkan sampah.
Namun, konsep ini menekankan pada upaya pengurangan hingga nol jumlah sampah
yang masuk ke TPA. Namun pada masyarakat Denpasar dan sekitarnya penerapan
prinsip nol sampah atau zero waste belum terlaksana dengan baik, jumlah
angkutan sampah yang datang dan juga peningkatan jumlah sampah yang terdapat
pada TPA Regional Sarbagita membuktikan bahwa masyarakat masih belum sadar dan
paham akan pemilihan sampah dalam skala rumah tangga. Jika hal ini terus
dibiarkan maka setiap tahunnya peningkatan jumlah sampah akan terus terjadi.
-
Belum Adanya Pihak Lain Yang Dapat Mengelola Sampah
Lintas Wilayah TPA Regional SARBAGITA
Pada tahun 2007 Pihak TPA Sarbagita pernah
bekerjasama dengan PT NOEI untuk mengolah sampah menjadi energi listrik. Namun
sejak beroperasi di tahun 2007 hingga kini, PT NOEI belum mampu mengolah sampah
dengan baik. Ketidak optimalan kinerja PT NOEI membuat semakin hari volume
sampah yang tertimbun di TPA Suwung semakin menumpuk. Sampai saat ini PT NOEI
hanya mampu menghasilkan 0,86 mega watt listrik, sangat jauh dari komitmen awal
perjanjian dimana PT NOEI akan menghasilkan listrik sebesar 10 mega watt. Pengolahan
sampah melalui IPST ini belum berjalan dengan baik karena PT NOEI belum dapat
merealisasikan teknologi gasifikasi. Teknologi gasifikasi yang akan
dikembangkan oleh PT NOEI memerlukan biaya yang cukup tinggi. Kerjasama
Pemerintah Daerah Sarbagita dengan PT NOEI memiliki jangka waktu hingga 20
Tahun. Kewajiban dari Pemerintah Daerah Sarbagita dalam kemitraan ini yaitu
menyediakan sampah minimum 500 ton perharinya serta menyediakan lahan untuk
pembangunan instalasi pengolahan sampah terpadu. Seluruh pembiayaan pembangunan
serta pengolahan sampah menjadi tanggung jawab dari pihak PT NOEI. Selain
mengolah sampah untuk dijadikan listrik, IPST juga akan mengolah sampah untuk
dijadikan kompos. Proyek IPST Sarbagita mulai beroperasi sejak tahun 2007
tepatnya tanggal 13 Desember 2007. Sejak mulai beroperasi hingga kini, IPST
Sarbagita belum efektif dalam mengelola sampah-sampah yang berada di area TPA
Suwung. Semakin banyaknya volume sampah yang dikirim ke TPA Suwung tidak
diimbangin dengan pengelolaan yang baik sehingga TPA Suwung kini berubah
menjadi pegunungan sampah. Jika merujuk pada kesepakatan kontrak kemitraan
antara pemerintah Sarbagita dengan PT NOEI, PT NOEI berkewajiban untuk
mengelola seluruh sampah yang ada di TPA Suwung baik itu sampah baru maupun
sampah lama untuk dijadikan listrik. PT NOEI berkewajiban untuk menghasilkan
listrik hingga 10 megawatt dan listrik tersebut akan dijual kepada pihak PLN.
Terhitung sejak mulai beroperasi di tahun 2007 hingga kini PT NOEI hanya mampu
menghasilkan listrik sebesar 0,86 megawatt listrik yang dimana sangat jauh dari
komitmen awal kerjasama yaitu listrik yang dihasilkan adalah sebesar 10
megawatt. Setelah memutuskan kontrak dengan PT NOEI sampai saat ini belum ada
investor yang mau mengelola sampah di TPA Regional Sarbagita. Sampai saat ini
Pemerintah Sarbagita masih membuka pintu untuk para investor yang mau mengelola
sampah di TPA Regional Sarbagita.
-
Bau Sampah Yang Tercium Sampai Ke Pemukiman Warga
Dan Perubahan Aliran Dan Volume Tanah
Sampah yang tertimbun di TPA Regional Sarbagita
mengeluarkan aroma yang busuk. Bau sampah yang dihasilkan ternyata tercium
sampai kepemukiman warga. Beberapa kali warga yang tinggal di area sekitar TPA
Regional Sarbagita melayangkan protes kepada pihak TPA karena bau sampah yang
sangat mengganggu. Selain itu masyarakat sekitar juga pernah akan memaksa
menutup TPA bila aroma tak sedap tersebut belum hilang. Masalah lain yang akan
timbul yaitu terjadinya perubahan pada aliran dan volume tanah
yang ditimbulkan akibat adanya pembuatan lapisan kedap air di sekitar lokasi.
Dengan terjadinya perubahan pada aliran dan volume air tanah di sekitar lokasi
maka kemungkinan akan mengganggu kepentingan dan fungsi dari sumur-sumur yang
selama ini dipergunakan penduduk sekitar lokasi. Secara geologi akan terjadi perubahan struktur lapisan tanah sebagai
akibat dilakukannya pembersihan lahan, pematangan tanah maupun pelapisan oleh sampah
atau tanah itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perubahanangka
permeabilitas tanah, berkurangnya daya dukung tanah dan berkurangnya kesuburan
tanah karena hilangnya humus penyubur tanah.
D.
Penyelesaian/Solusi
Melihat masalah diatas penyelesaian atau solusi yang
dapat diberikan adalah sebagai brikut
-
Masyarakat Belum Melakukan Pengelolaan Sampah Berbasis “Zero Waste” Skala Rumah Tangga
Secara Mandiri
Pemerintah Daerah hendaknya menerapkan peraturan PP
No.81 Tahun 2012 yang mewajibkan setiap warganya untuk melakukan pemilahan
sampah dari sumbernya serta menerapkan sangsi bagi yang tidak bersedia memilah
sampah harus mengelola sampahnya sendiri dengan membuang sampah ditempat
sendiri. Selain itu juga pemerintah menggencarkan kembali tentang pengolahan
sampah berbasis “Zero Waste” sampai ke ibu - ibu rumah tangga, dan juga
memperbaiki sistem yang sudah ada dengan cara menyediakan bak sampah dan truk
dengan warna yang berbeda untuk masing-masing jenis sampah. Pemerintah Daerah
melalui Dinas Kebersihan yang melibatkan aparatur kecamatan/ Kelurahan agar
memantau proses pemilahan sampah yang dilakukan oleh rumah tangga secara
periodik/ berkala. Aspek sosial-budaya juga berperan dalam tercapainya
pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis zero waste secara mandiri yaitu adanya
agent of change sekaligus block leader di dalam lingkungan rumah yang
menyebarluaskan informasi dan memotivasi anggota keluarga yang lain untuk
melakukan pengelolaan sampah terutama dalam pemilahan sampah.
-
Belum Adanya Pihak Lain Yang Dapat Mengelola Sampah
Lintas Wilayah TPA Regional SARBAGITA
Setelah memutuskan kontrak dengan PT NOEI Pemerintah
Daerah Sarbagita masih mencari pihak ketiga yang dapat diajak untuk bekerjasama
dalam mengatasi masalah. Rekomendasi yang dapat kami berikan yaitu pembuatan
bank sampah di areal TPA Regional Sarbagita. Meskipun hanya dapat mengurangi
sedikit sampah di TPA Sarbagita, jika program ini dilakukan secara benar dan
terstruktur dalam jangka waktu yang lama maka sampah-sampah dapat berkurang
sedikit. Selain itu pemerintah hendaknya lebih aktif lagi untuk mencari pihak
ketiga yang dapat membantu mengelola sampah di TPA Regional Sarbagita dengan
skala yang lebih besar sehingga permasalahan sampah yang ada di TPA Regional
Sarbagita dapat tertangani dengan lebih baik.
-
Bau Sampah Yang Tercium Sampai Ke Pemukiman Warga
Dan Perubahan Aliran Dan Volume Tanah
Rekomendasi yang dapat kami berikan dalam
permasalahan ini yaitu dengan mengefektifkan dan memaksimalkan sistem
pengolahan yang ada di TPA Suwung seperti sanitari
landfill, program ini pernah digunakan namun karena keterbatasan dana
akhirnya diberhentikan. Kelebihan dari sistem ini adalah dapat mencegah
timbulnya bau dan penyakit namun kekurangan dari sistem ini yaitu pemerintah
harus menyiapkan dana yang lebih untuk membeli tanah yang digunakan untuk
menimbun sampah selain itu juga dapat menimbulkan bau gas yang dapat
mencemarkan udara. Sebelum dilakukan penimbunan sebaiknya sampah
diolah terlebih dahulu dengan caradihancurkan dengan tujuan untuk memperkecil
volume sampah agar memudahkan pemampatan sampah. Untuk
melakukan ini tentunya perlu tambahan pekerjaanyang berujung pada tambahan dana.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2006. Laporan Akhir Perencanaan Teknis TPA Regional Bangli. Denpasar : Satuan
Kerja Non Vertikal Tertentu Pengembangan Kinerja Pengelolaan Persampahan dan
Drainase Provinsi Bali.
Anonim.
2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan
Sampah. Jakarta : Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Ariawan,
Rusdi. 2010. Pengaruh
Sistem Pengolahan Sampah Di TPA Suwung Terhadap Lingkungan Sekitar. Retrieved
from : https://www.scribd.com/doc/33690422/Pengaruh-Sistem-Pengolahan-Sampah-Di-TPA-Suwung-Terhadap-Lingkungan-Sekitar diakses pada tanggal 15 Oktober 2017
Artiningsih, N. K. A. (2008). Peran
serta masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga (Studi kasus di
Sampangan dan Jomblang, Kota Semarang) (Doctoral dissertation, program
Pascasarjana Universitas Diponegoro).
Astuti, D. (2008). Analisis Kualitas Air Lindi
di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Putri Cempo Mojosongo Surakarta. Jurnal
kesehatan, 1, 29-37.
Darmawi,
H. 2006. Manajemen Risiko. Cetakan kesepuluh. Jakarta : Bumi Aksara.
Gede Indra Partha, Cokorda. 2010. Penggunaan Sampah Organik
Sebagai Pembangkit Listrik Di TPA Suwung – Denpasar. Teknologi Elektro. Vol. 9
(2).
Patimah, Siti. Kemitraan Kolaboratif Pemerintah Daerah Sarbagita (Denpasar, Badung,
Gianyar, Tabanan) Dengan Pihak Swasta Pt Noei Dalam Pengelolaan Sampah Di
Wilayah Sarbagita. Retrieved from : https://ojs.unud.ac.id/index.php/citizen/article/download/9441/6985 diakses pada tanggal 15 Oktober 2017
Ulfah, M. (2004). Gambaran Pengelolaan Sampah
di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipayung Kota Depok. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta, 8,
2000-2010.
Wahyuning
Widiani, Ika. 2012. Pengelolaan Sampah Berbasis “Zero Waste” Skala Rumah Tangga
Secara Mandiri. Jurnal Sains dan Teknologi.
No comments:
Post a Comment